Bandung Barat, (Tabloidpilarpost.com)- Tersiar kabar diduga adanya permainan dalam rotasi mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Barat. Dugaan itu kini dilaporkan Aktivis Pemuda Bandung Barat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Kamis, 11 Mei 2023.
Hal tersebut sontak mendapat respon dari Djamu Kertabudi seorang pakar otonomi daerah dan juga sebagai akademisi, dosen ilmu politik Universitas Nurtanio Bandung, sekaligus Dewan Penasehat Paguyuban Pejuang Peduli Pembangunan Kabupaten Bandung Barat (P4KBB).
“Memang KBB ini ditakdirkan untuk selalu gaduh, isu demi isu selalu muncul setiap saat. Belum juga euforia kebanggaan atas diraihnya WTP bagi Pemda KBB yang bergulir sedemikian rupa, sehingga diimbangi oleh statemen beberapa pakar dan pengamat yang bermakna pencerahan yang mendudukkan WTP secara profesional dan proporsional”, ucap Djamu Kertabudi. Sabtu, (13/05/2023).
Saat ini muncul isu yang tidak kalah gebyarnya. Yaitu Isu suap atau gratifikasi dalam proses mutasi pejabat Pemda KBB yang disampaikan beberapa aktivis Dan LSM ke KPK yang diduga dilakukan oleh Bupati Bandung Barat berserta orang dekatnya.
Menurut Djamu hal yang menarik, direspon oleh Kabag Hukum Pemda KBB di media yang lebih menekankan aspek normatif. Bahwa mutasi/rotasi sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, namun tidak disinggung secara faktual bahwa dampak dari mutasi ini seperti apa.
“Contohnya, terdapat pejabat yang pangkatnya lebih rendah dari bawahannya, atau ada beberapa pejabat yang dilihat dari aspek kepangkatan sudah memenuhi persyaratan jenjang kepangkatan dalam jabatan, namun di sisihkan oleh pejabat yang memiliki pangkat satu tingkat dibawahnya”, ungkapnya.
Ia menjelaskan, memang ada 5 pertimbangan bagi TPK (Tim Penilai Kinerja), Sekda dkk, dan PPK (Bupati) untuk mendudukkan ASN dalam jabatan, yaitu kompetensi, pangkat, pengalaman, pendidikan dan usia.
Pertanyaannya apakah mutasi waktu yang lalu itu sudah mendudukkan pertimbangan ini secara obyektif ?. Tentu tidak perlu ada jawaban.
Djamu Kertabudi pun menerangkan, “Selain itu, berdasarkan keputusan Kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara) No.5 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Mutasi, dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa “mutasi dilakukan paling cepat 2 Tahun, dan paling lama 5 Tahun”. Namun fakta menunjukan ada beberapa pejabat yang belum 2 tahun memegang jabatan, bahkan baru beberapa bulan sudah dilakukan mutasi.
Memang di era reformasi birokrasi ini sesuai dengan misi Presiden tentang penyederhanaan birokrasi, yang dilakukan melalui penghapusan eselon 3 dan 4 dalam jabatan Struktural menjadi jabatan fungsional, namun berdasarkan kebijakan teknis MenPAN & RB bahwa implementasinya dilakukan secara bertahap.
Sehingga mengenal jenis jabatan dengan titelatur Jabatan Pimpinan Tinggi (utama, madya dan pratama), Administrator, Pengawas, dan Jabatan Pelaksana. Selain itu menurut Djamu, mengenai eselonering jabatan atau tingkatan jabatan bukan berarti dihapus secara komprehensif, akan tetapi selalu ada hubungan atasan dan bawahan.
Djamu pun mencontohkan seperti jabatan Sekda dengan Assisten/Kadis/Kaban meskipun termasuk rumpun Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, tetapi dilihat dari tingkatan jabatan bahwa Sekda merupakan atasan dari jabatan tersebut. Sama halnya jabatan Camat dengan Sekcam, meskipun satu rumpun dalam jabatan administrator, tapi jelas siapa atasan, dan siapa bawahan.
Kembali menyoal tentang isu suap dan gratifikasi yang berkaitan dengan mutasi ini, yang sangat menarik, bahwa ada pernyataan dari salah seorang pimpinan KPK yang menyebutkan bahwa berdasarkan penilaiannya bahwa isu “transaksional” dalam Mutasi jabatan di Daerah kerap selalu terjadi. Lantas bagaimana selanjutnya mengenai pengaduan dari publik KBB ini ?. Ya kita tunggu saja penyelidikan dari pihak KPK. Wallahu A’lam, tutup Djamu Kertabudi.
**Red