Kab Bandung,(Tabloidpilarpost.com)-Proses projek pengurugan tanah di block Cibuntu desa Nagrak Kecamatan Cangkuang yang dilakukan oleh PT Rahayu Putra Kencana ternyata masih berstatus tanah sengketa antara keluarga ahli waris Hj Ameh (alm) melawan keluarga ahli waris Hj Didah (alm).
Menurut keterangan ahli waris Hj Ameh (Dadang) kepada awak media Tabloidpilarpost.com pada hari Senin,(16/05/2022) tanah tersebut adalah milik kami sebagai ahli waris dari orangtua kami (Hj Ameh) dan kami mempunyai bukti kepemilikan
“Dengan bukti surat keterangan dan dilengkapi segel yang bertuliskan materai Republik Indonesia dan bergambar burung Garuda juga bertuliskan tahun 1965 secara terpisah dan letak nya dipojok kiri atas. Dan surat keterangan tersebut diterbitkan di Nagrak pada tanggal 10 Djuli 1965,”terangnya.
Dalam isi surat keterangan tersebut tertulis bahwa nyi Hodijah (Didah) pada tahun 1959 telah mutlak menjual sebidang sawah kepada H Ameh yang berlokasi di blok Cibuntu nomor Persil 59 kelas IV, letak tanah tersebut berbatasan dengan sawah masih kepunyaan nyi Hodijah sebelah utaranya,bagian sebelah barat berbatasan dengan sawah milik Dirman,sebelah bagian selatan berbatasan dengan sawah milik Empat dan bagian timur berbatasan dengan susukan,hanya belum dibikinkan surat perjanjianya(segel).
Juga dikuatkan dengan baris kalimat, Dan siapapun juga seahli waris saya tidak ada hak untuk mengganggugugatnya. Serta dibikin dalam keadaan sehat badan dan pikiran juga ditutup dengan kalimat apabila diperlukan siap dituntut dimuka hakim,dan dibenarkan oleh kepala desa pada saat itu Begitu isi lengkap dalam surat keterangan tersebut, papar Dadang.
Namun ketika Hodijah meninggal dunia tepatnya pada tahun 2018 ahli waris Hodijah (Deden) beserta saudara dan kerabatnya (Aang) berkomplot bagaikan “MAFIA TANAH” datang ke rumah saya dengan tujuan mau menggugat tanah tersebut,dengan alasan tanah itu bukan milik ahli waris H ameh tapi Deden mengaku bahwa tanah tersebut adalah masih milik keluarga ahli waris Hodijah ,dan Deden mengaku tanah tersebut cuma di gadaikan dan almarhum H ameh masih punya hutang piutang terhadap almarhum Hodijah.
Dikarenakan terjadi perselisihan,lalu Deden meminta bantuan kepada kepala desa (Joni). Dan Joni pun membantu dengan mengeluarkanya surat keterangan kepala desa (SKKD) yang berbunyi tentang status tanah tersebut adalah milik Hodijah atau milik keluarga ahli waris Hodijah.
Setelah merasa mempunyai kekuatan kepemilikan tanah yang berbentuk SKKD tersebut,Deden beserta keluarganya menjual tanah tersebut kepada H Ayi,dan diurus sertifikasinya ke BPN melalui notaris dengan melampirkan SKKD serta Lembaran leter C dari desa yang diduga adanya manipulasi data, kembali Dadang menjelaskan.
Bukan hanya menjual saja,Deden pun melaporkan keluarga ahli waris H Ameh dan keluarga ahli waris almarhum H Ojo ke pihak kepolisian/Polresta Bandung,karena menurut Deden,tanah yang dibangun rumah dan ditempati oleh keluarga ahli waris almarhum H Ojo itu juga tanah milik ahli waris Hodijah.
Bahkan bukan cuma itu saja,di desa Jatisari kecamatan Cangkuang juga ada mesjid yang digugat dan ada dua bidang tanah yang Deden gugat,jadi Deden itu ibarat seorang “MAFIA TANAH” tambah Dadang.
Terkait adanya dugaan keterlibatan dalam sengketa tanah tersebut,kepala desa Joni pun mengakui dan memang seharusnya ikut terlibat,tapi hanya jadi penengah saja, dan mengenai adanya dugaan manipulasi data, itu tidak benar.Karena data tersebut sesuai apa yang tercantum dan tertera di buku A dan buku C desa.
“Kenapa saya berani mengeluarkan Surat keterangan Kepala Desa (SKKD) bahwa tanah tersebut milik Hodijah,karena dibuku A dan dibuku C tanah tersebut masih milik Hodijah. Makanya saya berani mengeluarkan SKKD tersebut, karena ada dasar dibuku A dan dibuku C,”jelas Joni.
Dan mengenai permasalahan sengketa tanah tersebut apabila tidak bisa dimusyawarahkan secara kekeluargaan di desa ,saya sarankan agar permasalahan tersebut dibawa keranah hukum,pungkasnya.
***(Heri).
1,170 total views, 2 views today