(Tabloidpilarpost.com), Pidatonya kurang dari satu menit, tepatnya hanya 42 detik. Diucapkan dengan muka yang serius, tanpa basa-basi, “Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022 sampai batas waktu yang ditentukan”.
Singkat, padat dan menggemparkan. Semua pemain industri sawit kelabakan. Mereka yang selama ini menikmati keuntungan yang luar biasa akibat kenaikan harga CPO dunia, tiba-tiba dunianya runtuh. Dalam disiplin ilmu Strategic Management, ini yang dikenal dengan istilah “_Wild Card_”, yaitu kejutan besar menggoncang pertumbuhan secara sekonyong-konyong dan tiba-tiba. Tanpa ba bi bu, from _Hero to Zero_.
Mengapa demikian? Total produksi CPO Indonesia adalah 50 juta ton per tahun. Sementara total kebutuhan domestik hanya maksimal 18 juta ton, yang terdiri dari 10 juta ton untuk produksi bahan bakar minyak Biodiesel, 7 juta ton untuk bahan baku minyak goreng dan 1 juta ton untuk keperluan industri lainnya. Kemana kelebihan 32 juta ton produksi CPO akan diserap bisa moratorium larangan ekspor berkepanjangan?
Sawit itu tanaman yang panennya tidak bisa dihentikan oleh kekuatan apapun. Ini adalah berkah Tuhan yang melimpah untuk Indonesia. Tambang batu bara bisa dihentikan eksplorasinya tanpa mengurangi kualitas batu bara yang belum ditambang. Sedangkan penundaan panen kelapa sawit akan membuat buah sawit menjadi busuk dan produktivitas menurun drastis. Biaya pemulihannya sangat besar. Buah sawit yang sudah dipanen juga tidak bisa disimpan lama. Harus segera diproses menjadi CPO. Kualitasnya akan menurun drastis dalam hitungan hari. Sementara CPO sendiri juga punya masa daluwarsa yang pendek. Tidak mungkin menciptakan industri dalam negeri yang mampu menyerap kelebihan 32 juta ton CPO. Bisa dibayangkan kerusakan industri ini apabila kebijakan moratorium larangan ekspor berkepanjangan.
Bagaimana struktur industri CPO Indonesia sebenarnya? Merujuk data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020, luas total perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Dari luasan tersebut, pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sekitar 53% dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta besar, 6% dikelola oleh perusahaan perkebunan negara (BUMN) dan sisanya atau sebanyak 41% dikelola oleh petani kelapa sawit termasuk petani sawit swadaya. Sedangkan jumlah petani kelapa sawit di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 2,67 juta kepala keluarga.
Perusahaan swasta besar dan BUMN yang memiliki industri pengolahan lanjutan dari CPO, baik untuk bahan bakar minyak Biodiesel maupun minyak goreng dalam jangka pendek akan mampu bertahan, walau menderita kerugian. Mereka akan menggunakan hasil kebonnya untuk memenuhi bahan baku industri lanjutannya. Sementara petani kelapa sawit tidak punya pilihan lain. Ibarat buah simalakama, kalau dipanen maka bukan hanya harganya akan terjun bebas, tetapi siapa yang mau membeli dan kalau tidak dipanen maka kebonnya akan rusak. Lebaran kali ini bukan lebaran terindah seperti yang sebelumnya dibayangkan oleh jutaan petani kelapa sawit.
Jika kebijakan ini berkepanjangan, maka tangisan jutaan petani sawit akan diikuti oleh tangisan para pengusaha. Diperkirakan dalam tempo enam bulan saja pengusaha besar dan BUMN sawit juga akan ikutan runtuh.
Sementara di negeri seberang, pengusaha dan para petaninya akan bersorak gembira karena harga sawit internasional di pasar komoditas Rotterdam akan melonjak tidak berkira. Saat ini kontribusi ekspor CPO Indonesia memiliki pangsa pasar mendekati 58% dari ekspor dunia. Kehilangan pasok sebesar ini tentu mengguncang pasar dunia. Kita masih ingat, kenaikan harga CPO dunia dalam setahun terakhir sebenarnya banyak dipicu oleh kebijakan pemerintah mengubah biodiesel dari B20 ke B30, yang membutuhkan sekitar 10 juta ton CPO sebagai bahan baku. Kita memang bukan _price maker_, tetapi sebagai pemain terbesar dunia, kita bisa mempengaruhi harga internasional.
Atas pertimbangan tersebut, moratorium larangan ekspor bahan baku minyak dan minyak goreng yang diambil pemerintah, tidak boleh berkepanjangan. Sebagai sebuah _shock terapy_ atas kenakalan para pemburu rente yang berbuat culas dengan tidak memenuhi kewajiban DMO, ini sudah cukup. Obat yang terlalu keras akan membunuh semua industri, termasuk menyediakan lapangan kerja pengganti bagi 2,67 juta petani sawit.
Semoga raut muka Presiden kembali tersenyum, tersenyum bersama petani sawit, dengan mengembalikan kebijakan DMO sebesar 20% yang dibarengi dengan DPO pada harga Rp. 9.300 per kg. Tentu saja sambil matanya melotot pada pengusaha nakal yang tidak patuh. Cabut ijinnya dan bila perlu bangkrutkan. Kejaksaan dan Kepolisian harus mengawal kebijakan ini dengan seksama. Demi Indonesia yang lebih baik bagi semua.
(Dr. Ir. Harris Turino, SH., MSi., MM/Sdj Tpp)