Kota Bandung, (Tabloidpilarpost.com)- Foodbornd Disease merupakan penyakit bawaan makanan yang di pengaruhi berbagai faktor salahsatunya bakteri patogen. FoodBornd Disease biasanya bersifat toksik maupun infeksius karena disebabkan oleh agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. wabah dan angka kematian (mortalitas) tertinggi pada foodborne disease disebabkan oleh infeksi bakteri.
Penularan pada foodborne disease umumnya melalui oral, jika tertelan dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan menimbulkan gejala klinis diantaranya mual, muntah dan diare. Apabila gejala diare dan muntah terjadi dalam waktu lama, maka dapat mengakibatkan dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh.
Masa inkubasi penyakitnya berkisar antara beberapa jam sampai beberapa minggu, bergantung pada jenis bakteri yang menginfeksinya Walaupun demikian, tidak semua bakteri yang masuk ke dalam tubuh akan dapat menimbulkan penyakit, tergantung dari virulensi bakteri serta respon sistem kekebalan tubuh. Ini beberapa contoh bakteri penyebab FoodBornd Disease
1. Salmonella spp.
Infeksi Salmonella dapat bersifat fatal, terutama bagi bayi berumur kurang dari satu tahun. Selain dipengaruhi umur, juga bergantung pada galur dan jumlah bakteri yang masuk. Salmonella typhi dan S. paratyphi menyebabkan demam tifoid, lebih dikenal dengan penyakit tifus. Masa inkubasinya 7 – 28 hari, rata-rata 14 hari.
2. Escherichia coli
Escherichia coli (E. coli) pertama kali ditemukan oleh Theobold Escherich tahun 1885 dari feses bayi Bakteri ini bersifat komensal yang terdapat pada saluran pencernaan hewan dan manusia. Bakteri E. coli masuk dalam salah satu bakteri indikator sanitasi E. coli patogenik penyebab diare diklasifikasikan menjadi 5 kelompok: kelompok E. coli patogen yaitu E. coli enteropatogenik (EPEC), E. coli enterotoksigenik (ETEC), E. coli enteroinvasif (EIEC), E. coli hemoragik (EHEC), dan E. coli enteroaggregatif. Infeksi bakteri tersebut diduga merupakan faktor utama penyebab malnutrisi pada bayi dan anak-anak di negara berkembang. Salah satu serotipe EHEC pada manusia adalah E. coli O157 H7 yang mengakibatkan diare berdarah. Apabila infeksi berlanjut dapat menimbulkan komplikasi yang mengakibatkan sindroma uremik hemolitik (HUS) pada anak-anak dan usia lanjut E. coli patogenik ini banyak mencemari daging sapi, susu, air tanpa proses, sayuran mentah, dan aneka jus tanpa pasteurisasi.
3. Clostridium spp.
Bakteri Clostridium perfringens dan C. botulinum umum terdapat di alam, misalnya tanah, sampah, debu, kotoran hewan dan manusia, serta bahan makanan asal hewan. Bakteri ini menghasilkan 5-7 jenis enterotoksin tipe A, B, C, D, E, dan F, dan sebagai penyebab keracunan makanan pada hewan dan manusia. C. botulinum menghasilkan 7 jenis toksin tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Tipe A, B, E, dan F menghasilkan botulinum yang berbahaya bagi manusia; tipe C menyebabkan botulinum pada burung, kura-kura, sapi, domba, dan kuda; tipe D banyak menyerang sapi dan kambing di Australia dan Afrika Selatan; sedangkan tipe G jarang dilaporkan. Gejala botulisme biasanya timbul 12 jam sampai 1 minggu, dengan rata-rata 12 – 24 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung toksin botulinum. Gejala tersebut dapat berupa perut mulas, muntah, diare, dan dilanjutkan dengan serangan syaraf (neurologis). Masa inkubasi bisa lebih cepat antara 6 – 10 jam, terutama pada makanan yang mengandung toksin tipe E. Kadang-kadang timbul gangguan badan seperti lemas, pusing, vertigo, dan penglihatan berkunang-kunang
4. Vibrio spp.
Ada 3 spesies Vibrio yang dapat mengakibatkan foodborne diseases pada manusia, yaitu V. cholera (serogrup O1, non-O1 dan O39), V. parahaemolyticus, dan V. vulminicus . Sebanyak 10 – 20% kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Vibrio sp. umumnya ditularkan melalui makanan hasil laut. Bakteri ini umumnya dapat bertahan hidup pada suhu di bawah 10 oC. kecuali V. parahaemolyticus yang akan mati pada suhu antara 0 – 5o
C. Pada suhu yang lebih tinggi (> 10oC), Vibrio sp. akan berkembang biak dengan cepat. Semua spesies Vibrio sp. dapat hidup pada kadar garam antara 0,5 – 10%, dengan kadar optimum 2,2%, tetapi bakteri ini sangat peka terhadap panas.
5. Bacillus anthracis
B. anthracis menyebabkan penyakit antraks pada hewan dan manusia (SIEGMUND, 1979). Bakteri ini sensitif terhadap lingkungan, tidak tahan panas, dan mati dengan perebusan selama 2 – 5 menit. Sporanya sangat tahan selama bertahun-tahun pada suhu pembekuan, di dalam tanah dan kotoran hewan Bahkan, spora tersebut tahan 25 – 30 tahun di dalam tanah kering, sehingga dapat menjadi sumber penularan penyakit baik bagi manusia maupun ternak. Antraks pada ternak di Indonesia diketahui sejak tahun 1884 di Teluk Betung (Bandar Lampung) dan pada manusia sejak tahun 1922. Sejak tahun 1998, dalam sistem kesehatan hewan nasional, penyakit antraks dimasukkan ke dalam kelompok 11 Penyakit Hewan Menular Strategis sedangkan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizootice,OIE), penyakit antraks dikelompokkan ke dalam daftar B karena merupakan penyakit menular penting.
-Febby Anesty, Jum’at (31/12/2021)
Kontributor : Siti Junengsih
Editor : Hamdan