KBB – (Tabloidpilarpost.com), Pemerintah mewajibkan sekolah mempublikasikan penerimaan dan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di papan informasi yang ada di sekolah atau di tempat lain agar mudah diakses masyarakat. Publikasi penerimaan dan penggunaan dana BOS dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan transparansi anggaran pendidikan.
Walaupun ada kewajiban mempublikasikan penerimaan dan penggunaan dana BOS, peluang terjadinya praktik korupsi masih cukup besar. Bisa saja, laporan publikasi sesuai dengan petunjuk teknis penggunaan dana BOS, namun dalam praktiknya sejumlah kuitansi bodong dan penggelembungan anggaran atau mark-up.
Rendahnya transparansi pengelolaan dana BOS selama ini rentan terhadap penyalahgunaan. Kepala Sekolah, Bendahara, dan pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi dana BOS bisa saja menikmati uang haram dengan riang gembira, namun tidak sedikit yang berurusan dengan penegak hukum; masuk penjara.
Korupsi dana BOS tersebar di berbagai daerah. Kerugian akibat yang ditimbulkan oleh korupsi dana BOS bervariasi; belasan juta, puluhan juta, hingga sampai ratusan juta, itu berasal dari sejumlah sekolah. Kerugian akibat korupsi dana bantuan untuk sekolah itu diduga bisa berlipat-lipat kalau ditambah dengan yang tidak terungkap oleh penegak hukum.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Paguyuban Sundawani KBB, Bah Aceng mengungkapkan modus korupsi dana BOS yang lain yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah dengan meminta setoran kepada sekolah dengan alasan mereka sudah berjuang memproses dan mencairkan dana BOS. Setelah dana BOS langsung ditransfer ke rekening sekolah, praktik korupsi dana BOS masih bisa saja terjadi dengan dalih loyalitas bawahan kepada atasan yang telah mengangkatnya menjadi Kepala Sekolah.
“Selain kerugian material, kerugian yang paling besar dari korupsi yang terjadi di sekolah ialah runtuhnya benteng moral. Sekolah yang seharusnya sebagai lembaga pendidikan tidak terlepas dari praktik korupsi, lalu di mana lagi kita menyemai bibit-bibit masa depan?,” ujar Bah Aceng ditemui Tim Investigasi Tabloidpilarpost.com di sekretariat DPD Paguyuban Sundawani KBB, Bukit Permata, Desa Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, KBB, pada Kamis (7/10/2020).
Disamping itu, Bah Aceng juga mengatakan bahwa banyak warga masyarakat awam yang anaknya masih tertahan ijazah sekolahnya dibeberapa titik sekolah, karena belum mampu melunasi administrasi sekolah. Ia juga berharap anggotanya lebih aktif lagi menjalankan tupoksinya sebagai sosial control.
Ditempat terpisah, kejadian ini sontak juga mengundang respon tokoh pemuda KBB yang juga merupakan seorang Aktivis Anti Korupsi Jawa Barat yang namanya enggan disebutkan, pada Jum’at (8/10/2021).
Ia mengatakan akan segera berkoordinasi dengan tim-nya untuk menanyakan kejadian ini dengan pihak sekolah sekaligus koordinasi dengan pihak DPD Paguyuban Sundawani KBB untuk meneruskan aduan dari warga masyarakat.
Jika kejadian penahanan ijazah ini benar adanya, pihaknya menegaskan, akan segera melaporkan kejadian ini secara resmi ke Sistem Informasi Lapor Penahanan Ijazah (Silapiz), Ombudsman dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Langkah kita pertama yaitu menanyakan kejadian ini kepada pihak sekolah, saya akan koordinasi dengan tim saya untuk koordinasi dengan pihak DPD Paguyuban Sundawani KBB. Kalau memang benar banyak siswa ditahan ijazahnya, kita akan adukan kepada pihak-pihak terkait, biar proses hukum yang berjalan dan kita kawal kasusnya sampai permasalahan ini selesai,” pungkasnya.
Rendahnya Pengawasan
Rendahnya pengawasan penggunaan anggaran pendidikan dari stakeholder sekolah –guru, komite sekolah, dan masyarakat, membuat Kepala Sekolah bersama dengan orang-orang dekatnya seolah-olah membangun kerajaan kecil, sementara pejabat terkait yang seharusnya melakukan pendampingan dan pengawasan penggunaan dana BOS datang seperti utusan raja besar untuk menarik upeti pada raja-raja di bawahnya.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu guru di KBB yang identitasnya tidak ingin diketahui kepada Tim Investigasi Tabloidpilarpost.com. Dalam pesan aplikasi WhatsApp ia menyampaikan, pilar-pilar utama dari governance sekolah sesungguhnya belum terbentuk, yaitu hadirnya guru yang kritis, independen dan terorganisir, representasi orangtua murid yang aktif, dan kekuasaan limitatif Kepala Sekolah.
Secara teknis pelibatan Komite Sekolah dan masyarakat dalam pengelolaan dana BOS diatur dalam Permendikbud No 8 tahun 2020 di mana penggunaan dana BOS reguler harus didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama tim BOS sekolah, guru, dan Komite Sekolah. Kesepakatan dan keputusan bersama penggunaan dana BOS harus dituangkan secara tertulis, dalam bentuk berita acara rapat dan ditandatangani oleh peserta rapat.
Selama ini, banyak guru dan pegawai sekolah tidak mengetahui persis besaran dan penggunaan dana BOS, apalagi masyarakat luas. Kerap terdengar anekdot “hanya Tuhan, Kepala Sekolah, dan Bendahara Sekolah yang tahu penggunaan dana BOS” untuk menggambarkan kabut tebal pengelolaan anggaran pendidikan di sekolah.
Keengganan guru bersikap kritis terhadap pengelolaan dana BOS karena mereka menganggap tugas mereka mengajar, dan ketakutan bersuara kritis akan berpengaruh terhadap keberlangsungan aktivitas mengajar mereka di sekolah. Padahal, sejumlah studi menunjukkan bahwa semakin transparan anggaran sekolah, kepuasan guru meningkat –kepuasan karena melihat kemajuan sekolah tempatnya mengajar maupun kepuasan karena mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.
Honor atau gaji honorer rata-rata bersumber dari dana BOS dan kabar gembiranya lima puluh persen dana BOS mulai tahun 2020 boleh dialokasikan untuk gaji guru honorer. Mudah-mudahan saja kesejahteraan guru honor semakin lebih baik, namun kondisi itu akan menjadi suram kalau gaji guru honor saja disunat.
Komite Sekolah di banyak tempat masih semacam tukang stempel laporan anggaran pendidikan. Banyak Komite Sekolah yang tidak tahu besaran dan peruntukan dana BOS. Lemahnya partisipasi dan pengawasan Komite Sekolah disebabkan sejumlah faktor, antara lain kurangnya pengetahuan dan keterampilan Komite Sekolah dalam mendorong transparansi anggaran sekolah.
Banyak sekolah mengasingkan peran dan kedudukan Komite Sekolah, membatasi peran Komite Sekolah, dan menutup-nutupi informasi yang harusnya disampaikan pada Komite Sekolah.
Komite Sekolah harus difasilitasi dan terus didorong semakin terlibat aktif dalam ikut merencanakan, menggunakan, dan mengevaluasi pengelolaan dana BOS. Pemerintah, harus memberikan pelatihan dan pendampingan bagi Komite Sekolah dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kapasitas mereka dalam merancang dan mengawasi pengelolaan dana BOS.
Masyarakat pada umumnya masih terkesan tidak mau tahu pengelolaan anggaran pendidikan, yang penting anak mereka bisa sekolah. Padahal, dengan mengalirnya uang ratusan juta sampai miliaran rupiah ke rekening sekolah, diharapkan pelayanan pendidikan serta kualitas pendidikan menjadi lebih baik lagi.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan anggaran pendidikan yang lebih transparan harus ditingkatkan kembali. Yakni, meningkatkan pemahaman bahwa sekolah adalah tempat mempersiapkan anak-anak kita meraih masa depan, sehingga harus terus dijaga dan diberi masukan dalam upaya meningkatkan kualitas.
Kewajiban memasang penerimaan dan penggunaan dana BOS menjadi bagian kecil dari upaya anggaran sekolah lebih transparan. Bagian besar dalam meningkatkan transparansi anggaran pendidikan, termasuk dana BOS adalah dengan mendorong hadirnya guru yang kritis, independen, dan terorganisir, representasi orangtua murid terutama dalam wadah Komite Sekolah yang aktif, dan lingkungan sekolah yang demokratis.
Korwil Jabar Tabloidpilarpost.com
DRIVANA