(Tabloidpilarpost.com), Secara blak-blakan Krisdayanti soal pendapatannya sebagai anggota DPR RI membuka mata publik. KD, panggilan akrabnya, menyingkap tabir rahasia DPR yang tabu jika diketahui publik. Maka KD pun dibungkam.
Selama ini publik tahunya pendapatan politikus di Senayan “cuma” Rp 50-60 juta. Ternyata setelah dikalkulasi gaji plus tunjangan plus uang reses dan lain-lain total sekitar Rp 350 juta per bulan.
Ironisnya, akibat “nyanyian” merdunya, mantan diva Indonesia itu dipanggil dan diinterogasi Ketua dan Sekretaris Fraksi PDIP, Utut Adianto dan Bambang Wuryanto. KD akhirnya minta maaf karena telah membuat kegaduhan. KD dibungkam. Maklum, nyanyiannya membuka mata publik dan memicu polemik.
Sebelum itu, KD menjadi sasaran empuk kritikan dari sesama koleganya di DPR. Dari semua fraksi.
Namun, KD tak mungkin melawan. Sebab, dengan mudah partainya bisa me-recall dia kalau suaranya berseberangan dengan suara partai. Hanya politikus nekad yang berani melawan partainya. Karena partai telah menjadi oligarki. Idealnya suara di DPR itu one man one vote. Tapi realitanya tak mungkin, karena mereka ada di bawah kendali partai. Melawan partai sama saja dengan bunuh diri. Padahal untuk meraih kursi DPR tak mudah. Perlu modal miliaran bahkan puluhan miliar rupiah.
Benar kata orang, di kawanan serigala, kambing pun harus ikut-ikutan menjadi serigala. Jika tidak, kambing itu justru akan menjadi santapan empuk serigala.
Ironi
Dengan pendapatan segede itu, mereka yang semula kere pun mendadak perlente. Mereka yang semula bersandal jepit mendadak menjadi elit.
Pantasan pula para anggota Dewan itu betah di Senayan. Bahkan membentuk semacam oligarki. Petahana akan terus terpilih karena cukup modal. Bahkan ada anggota DPR yang sampai 5-7 periode duduk di kursi empuk.
Ironisnya, di antara gelimang harta yang didapat, ternyata kinerja DPR selalu jeblok dari tahun ke tahun. Dari tiga fungsi yang dimiliki DPR, semua hasilnya tidak optimal.
Fungsi pengawasan memble. Apalagi kini mayoritas kursi di DPR tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah. Banyak program yang diajukan pemerintah langsung disetujui parlemen, tanpa dikritisi terlebih dahulu.
Fungsi penyusunan anggaran juga kerap tak transparan. Bahkan banyak yang memainkan anggaran untuk patgulipat dan kongkalikong. Maka bisa dipahami pendapatan selangit para wakil rakyat itu terwujud karena mereka sendiri yang menyusun anggarannya. Eksekutif cukup mengaminkan saja. Sebab dengan cara itulah legislatif dininabobokkan.
Fungsi legislasi lebih parah lagi. Setiap tahun capaian legislasi DPR tak sampai 30 persen dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Ironisnya lagi, di antara gelimang harta, anggota Dewan masih doyan korupsi. Semenjak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri tahun 2003 hingga kini, sudah lebih dari 100 anggota DPR kena tangkap KPK karena korupsi.
Motif korupsi mereka bukan karena kebutuhan atau corruption by need, melainkan karena keserakahan atau corruption by greed.
Kalau sudah begini, mau diapakan DPR? Dibubarkan? Tidak mungkin, karena DPR salah satu unsur trias politika yang tercantum di dalam UUD 1945.
Dikritik? Ah, bagi mereka cuma angin lalu saja.
Satu-satunya yang dapat dilakukan rakyat adalah dengan tidak memilih kembali mereka yang pada periode ini duduk di Senayan pada Pemilu 2024. Terutama mereka yang cuma menikmati pendapatan jumbo sementara kinerjanya loyo. Banyak anggota Dewan yang sekadar menghadiri rapat pun ogah. Bahkan ada anggota DPR yang hanya sekali datang dalam lima tahun, yakni saat pelantikan. Soal presensi, bisa diwakilkan. Namanya juga wakil rakyat,
Semoga rakyat tidak tidak mental wani piro
(Rudi S Kamri/Ridho Tpp/Sdj Tpp)