KBB – (Tabloidpilarpost.com), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di H. Gopur, Jalan Gadobangkong – Cimareme, Desa Gadobangkong Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB) memperbolehkan melayani konsumen yang membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) menggunakan jerigen jenis plastik. Padahal pemerintah sudah mengatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pembelian BBM.
Larangan itu disebabkan karena jerigen berjenis plastik terbuat dari bahan yang mudah terbakar. Seharusnya wadah alias jerigen yang digunakan untuk menampung bahan bakar itu harus berbahan yang tidak mudah mengantarkan listrik statis, seperti aluminium.
Menurut Jujun salah satu petugas SPBU ketika dikonfirmasi oleh Tim Investigasi Tabloidpilarpost.com, menjelaskan bahwa pihaknya menjual BBM melalui jerigen plastik bukan BBM yang bersubsidi.
“Kami menjual ini bukan BBM yang bersubsidi (Pertalite dan Pertamax) kami dari dulu menjual kepengecer ini juga untuk membantu mereka (pembeli BBM yang memakai jerigen plastik dan tanpa ada surat izin rekomendasi). Apalagi penjualnya ini dari pelosok-pelosok, jadi kami disini untuk membantu masyarakat yang jauh dari SPBU,” kata Jujun, pada Sabtu (24/7/2021).
Ia juga menegaskan, dari Pertamina memperbolehkan menjual kepada pembeli yang menggunakan jerigen plastik. Akan tetapi, tidak boleh yang bersubsidi.
“Makanya ini dari Pertamina, membolehkan menjual menggunakan jerigen yaitu untuk mengecer buat istilahnya 2 (dua) tak. Tetapi jangan boleh yang bersubsidi, makanya kami mempersilahkan mengisi ke anak-anak, Pertalite, Pertamax atau Turbo itukan non subsidi, makanya kami perbolehkan, karena itu kami selalu mengisi,” tutur Jujun.
Menurut Jujun, melayani pembeli diperbolehkan menggunakan jerigen plastik asalkan jangan diatas kendaraan.
“Kami juga diklarifikasi oleh Pertamina juga sama, maksudnya boleh mengisi jerigen asalkan jangan diatas kendaraan. Makanya setiap pengisian BBM kami turunkan, karena yang memicu terjadinya kebakaran itu, ngisi jerigennya itu diatas kendaraan,” ujar Jujun.
Selain itu, SPBU tersebut juga diindikasi kuat memperbolehkan konsumen membeli BBM non subsidi hingga ribuan liter tanpa surat izinpun bisa.
“Inikan sudah izin langsung dari Pertamina, diperbolehkan itu karena ngisinya tidak yang bersubsidi,” papar Jujun.
Ketika disinggung oleh Tim Investigasi Tabloidpilarpost.com, apakah pembeli memakai jerigen plastik memperlihatkan izin kepada petugas SPBU.
Jujun mengatakan, “Kalau ini tidak ada izin, maksudnya kan ini pembeliannya itu non subsidi, kalau non subsidi itu bebas, mau berapa ribu liter juga dikasih seperti Dex, Turbo, Pertamax dan Pertalite itukan non subsidi,” tambahnya.
Jujun juga menegaskan kesekian kalinya, bahwa tanpa surat izinpun pembeli BBM non subsidi memakai jerigen plastik bisa membeli BBM ribuan liter.

Sebelumnya, pada Rabu (21/7/2021) Tim Investigasi Tabloidpilarpost.com menerima laporan dari Sekjen Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Paguyuban Sundawani KBB, Supriatna SH, mengatakan bahwa SPBU di Jalan Gadobangkong – Cimareme, tepatnya dekat simpang Haji Gopur seringkali melayani pembelian BBM memakai jerigen berjenis plastik.
Selain itu, ia juga meminta Tim Investigasi untuk melakukan penelusuran benar atau tidaknya tentang pembelian BBM memakai jerigen plastik tersebut tidak mempunyai izin rekomendasi dari OPD Pemerintah Kabupaten/ Kota setempat.
“Larangan pembelian Pertalite menggunakan jerigen sesuai dengan Perpres 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Pembelian Pertalite menggunakan jerigen yang dilarang adalah yang tidak disertai rekomendasi untuk kebutuhan tertentu seperti pertanian, perikanan, usaha mikro atau kecil,” ungkap Supriatna SH yang juga merupakan ahli hukum.
Ia juga menambahkan, salah satu latar belakang diaturnya pembelian memakai jerigen ini dikarenakan banyaknya keluhan konsumen kendaraan yang saat ini mayoritas mengisi BBM Pertalite terganggu dengan kegiatan pengisian jerigen tanpa rekomendasi yang kemungkinan untuk dijual kembali atau disalurkan kepada pengusaha pabrik-pabrik. Selain itu dikarenakan faktor keamanan dari bahan jerigen itu sendiri.
Supriatna pun menegaskan, SPBU merupakan lembaga penyalur terakhir penjualan BBM dari produsen yaitu Pertamina kepada konsumen. Hal ini berarti sebenarnya kalau dari Peraturan Presiden tersebut pembelian bahan bakar di SPBU tidak untuk dijual kembali.
“Pembelian dengan jerigen sesuai Perpres itu pun sebenarnya ditujukan untuk petani, nelayan, usaha mikro kecil yang memang jaraknya jauh dari SPBU. Selain itu, mereka juga harus menggunakan surat rekomendasi dari OPD terkait di Pemkab/Pemkot setempat,” tuntasnya.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014, pembelian Pertalite menggunakan jerigen yang dilarang adalah tidak disertai rekomendasi untuk kebutuhan tertentu (pertanian, perikanan, usaha mikro/kecil).
Terkait dengan melayani pembelian BBM oleh SPBU kepada konsumen yang menggunakan jerigen plastik jelas melanggar peraturan yang sudah ditetapkan dan harus menjaga keselamatan bersama.
Pemerintah pusat juga telah menerbitkan Peraturan Presiden No 15 tahun 2012 tentang harga jual eceran dan pengguna jenis BBM tertentu, tidak terkecuali larangan SPBU tidak boleh melayani konsumen dengan menggunakan jerigen dan menggunakan mobil yang sudah dimodifikasi serta menjual ke pabrik-pabrik industry home atau rumahan dan industry untuk mobil-mobil galian C.
Selain itu, pembelian menggunakan jerigen juga termuat dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2012 bahwa telah diatur larangan dan keselamatan. Peraturan itu menerangkan secara detail tentang konsumen pengguna, SPBU tidak diperbolehkan melayani jerigen.
Selanjutnya, konsumen membeli BBM di SPBU dilarang untuk dijual kembali, hal tersebut tertuang dalam undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas.
Perlu diketahui bersama, jika melihat Undang-Undang (UU) Migas Nomor 22 Tahun 2001 pasal 55, siapa saja yang menjual bensin eceran termasuk Pertamini dapat dikenakan sanksi pidana. Yakni 6 tahun atau denda maksimal Rp 60 miliar.
Pada dasarnya kegiatan usaha Pertamini boleh dilakukan kalau punya izin dan jika tidak memiliki izin usaha, maka dapat dipidana dengan Pasal 53 UU 22/2001:
Setiap orang yang melakukan:
a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp 40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah).
c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Sedangkan jika yang dijual adalah BBM bersubsidi, maka dapat dipidana dengan Pasal 55 UU 22/2001: Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60.000.000.000 (enam puluh miliar rupiah).
Tim Investigasi Tabloidpilarpost.com
(RI/DA)